Rumahku istanaku, prinsip itulah yang di pegang teguh oleh nenek berusia 60 tahun yang tinggal di rumah dari pemberian transmigrasi sekitar 30 tahun yang silam yang kini kondisinya reot dan tak layak huni. Meskipun sering di ajak tinggal di rumah anaknya, namun sinenek menolak sembari berkata, tidak enak tinggal di rumah orang lain meskipun itu rumah anak sendiri, lebih enak dan nyaman tinggal di rumah sendiri meskipun kondisinya sudah reot
Laporan : I Made Indrawan
Nenek itu bernama Sutini, tinggal di Desa Kuo Kecamatan Pangale Kabupaten Mamuju Tengah (Mateng) Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar). Sejak di tinggal cerai oleh suaminya, Sutini tinggal seorang diri di Rumah pembagian transmigrasi 70 tahun silam yang kini kondisinya sudah mulai reot dan jauh dari layak huni. Sementara anak semata wayangnya sudah berumah tangga dan tinggal bersama sang suaminya yang tidak jauh dari rumah Sutini.
Berawal dari informasi yang di posting oleh salah satu anggota Dewan Perwakilan Rakyata Daerah (DPRD) Mateng, Hamka, melalui akun pribadinya di Media Soaial (Medsos) Facebook, Rabu siang (7/6/2017), penulis bersama dengan teman-teman dari Humas dan Protokoler Sekretariat Daerah (Setda) Mateng mendatangi rumah Sutini.
Penulis tiba di rumah Sutini sekitar pukul 12.30 siang, dengan langkah yang tertatih-tatih, Sutini menyambut penulis dengan senyum ramah yang terpancar dari raut muka yang sudah renta namun memiliki semangat yang kuat. Penulis berhenti di depan rumah yang kondisinya jauh dari layak huni, dan memandang kesekeliling. Dilihat dari luar, rumah Sutini ini memang benar-benar tidak layak huni, karena kondisinya yang sangat kumuh. Begitupun dari kesehatan dan kenyaman hidup. Intinya rumah nenek itu tidak layak lagi di sebut rumah, tepatnya sebuah gubuk reot yang kumuh dan jauh dari kata sehat.
Setelah penulis bersama rombongan menyalami nenek itu, penulispun diajak masuk kedalam rumahnya. Tiba di dalam rumah, apa yang penulis bayangkan setelah melihat kondisi rumah dari luar itu benar adanya, kondisi dalam rumah nenek itu sungguh jauh dari kata layak. Kondisi di dalam kamar yang berukuran kecil itu sangat menyedihkan, di setiap sudut ruang nampak tergantung barang bekas yang sudah tak layak pakai namun masih di simpan oleh Sutini. Tak ada kursi dalam rumah sinenek tua itu, yang ada hanya satu dipan yang kondisinya juga sudah lapuk namun masih di digunakan untuk merebahkan badan sinenek sembari beristirahat di malam hari.
Sambil menggelar tikar dan mempersilahkan penulis duduk, Sutini bercerita bahwa dulu dia datang ke Desa Kuo melalui program transmigrasi. Dari program transmigrasi tersebut, sinenek mengaku mendapat ¼ pekarangan dan 1 ha lahan sawah. Namun setelah bercerai sama suaminya, lahan sawah tersebut di ambil dan di jual oleh suaminya, lalu suaminya pulang kembali kejawa. Sejak itulah Sutini tinggal sendiri di rumah yang dia tempati saat ini. Sementara anak semata wayangnya telah bersuami dan tinggal bersama suaminya.
“Untuk makan sehari-hari, kalau musim panen padi tiba, saya pergi menyilir gabah hasil panen tetangga dengan hasil setengah karung beras selama dua hari. Biasa juga di kasi gabah sama anak saya,” tutur Sutini.
Melihat kondisi rumah Sutini, penulis mencoba bertanya kepada sinenek tentang bantuan bedah rumah. Secara terang-terangan, Sutini katakan, dia tahu kalau bantuan bedah rumah itu ada, tetapi dia tidak pernah di data. Dia juga tahu kalau Raskin itu ada yang di prioritaskan untuk orang seperti dirinya. Namun yang sampai kepada dirinya diawal-awal program tersebut, tetapi dalam waktu tiga tahun terakhir ini sudah tidak dapat Raskin lagi.
“Saya pernah diajak tetangga yang kondisinya sama seperti saya untuk mengambil Raskin, tapi saya tidak mau. Selain saya tidak punya uang untuk bayar Raskin itu, saya juga tidak di data untuk mendapatkan Raskin,” ujarnya lirih.
Sebelum penulis pamit kepada sinenek, teman-teman dari Humas dan Protokoler Setda Mateng, memberikan bantuan kepada sinenek berupa Sembako. Dengan nada suara yang lirih, sinenek mengucapkan banyak terimakasih atas bantuannya, dan mengatakan, baru kali ini ada yang peduli kepada dirinya dengan memberikan bantuan Sembako, meskipun dirinya tinggal di tengah-tengah pemukiman orang-orang yang bisa membantunya. Bahkan tinggal bersebelahan dengan pejabat desa. (**)