Rabu , Maret 19 2025
Home / Daerah / Rohingnya, Ironi Komitmen Internasional

Rohingnya, Ironi Komitmen Internasional

Jakarta, 8enam.com.-Rangkaian peristiwa kekerasan terhadap etnis Rohingnya di Myanmar. Selama lima tahun terakhir, konflik di Rohingnya menyebabkan kian bertambahnya jumlah korban jiwa dan ledakan jumlah pengungsi dari salah satu negara anggota ASEAN tersebut. Hal ini memperlihatkan lemahnya komitmen dunia dalam penegakan Hak Azasi Manusia (HAM).

Situasinya bukan lagi menjadi isu keamanan regional, sebab komunitas etnis yang disebut-sebut sebagai warga tanpa negara tersebut sesungguhnya bukanlah ancaman terhadap negara Myanmar karena beberapa alasan.

Pertama, komunitas Rohingnya bukan merupakan dan tidak milisi bersenjata. Berbeda dengan beberapa komunitas yang juga dipersekusi oleh penguasa sah di negaranya, misalnya, Suku Kurdi di Irak. Bangsa Kurdi juga adalah bangsa tanpa negara. Berbeda dengan Kurdi, Rohingnya adalah etnis yang amat lemah dan tidak memiliki milisi dan kelompok bersenjata. Demikian juga dengan derajat perekonomian masyarakatnya sangat rendah sehingga dalam lima tahun terakhir, komunitas ini mengalami penderitaan yang nyaris mencapai puncak kebiadaban dalam seabad terakhir di Asia Tenggara. Tidak ada alasan keamanan negara untuk menekan masyarakat Rohingnya sebab tiadanya ancaman milisi bersenjata miliki Rohingnya.

Kedua, komunitas Rohingnya bukan gerakan politik. Tidak ada representasi politik di Myanmar yang dapat mewakili perjuangan nasib masyarakat Rohingnya. Myanmar atau sejak masih bernama Burma yang dalam puluhan tahun diperintah oleh kekuasaan junta militer tidak memberikan kesempatan kepada publik khususnya Rohingnya untuk menyalurkan aspirasi politik. Tidak ada alasan keamanan negara untuk menekan masyarakat Rohingnya sebab mereka tidak memiliki lembaga politik dan gerakan penggalangan kekuatan politik di Myanmar.

Ketiga, komunitas Rohingnya tidak mendapat sokongan khusus dari kekuatan politik internasional. Etnis Rohingnya tidak memiliki relasi internasional yang dapat memperjuangkan nasibnya. Etnis Rohingnya bukan sebuah gerakan separatis yang hendak memisahkan diri dari Myanmar. Perjuangannya hanya hendak mendapatkan pengakuan kewarganegaraan.
Penderitaan etnis Rohingnya adalah tragedi kemanusiaan yang amat layak disayangkan. Sesungguhnya Myanmar telah memperlihatkan tiga ironi besar dalam kasus Rohingnya sekaligus. Ironi pertama yakni penghargaan internasional, Hadiah Nobel Perdamaian, terhadap perjuangan HAM tokoh oposisi yang kini menjadi pemimpin defacto Myanmar Aung San Suu Kyi. Nobel perdamaian itu adalah hal yang bertentangan dengan semangat politik pemerintah Myanmar yang melakukan persekusi terhadap etnis Rohingnya.

Ironi kedua adalah, komitmen internasional tentang pembangunan menyeluruh dan berkelanjutan yang berbeda secara diametral dengan sikap pemerintah Myanmar terhadap warga negaranya. Penderitaan akibat persekusi di bawah simbol negara tersebut adalah ironi besar di tengah gencarnya gerakan internasional untuk mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs). Seluruh indikator SDGs bertentangan dengan kenyataan politik Myanmar terkait Rohingnya. Ketika SDGs mengamanatkan penghapusan segala bentuk kemiskinan, mengakhirri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan jaminan peningkatan gizi, jaminan hidup sehat dan kesejahteraan segala usia, ketersediaan air bersih, keadilan gender dan perlindungan anak, serta beberapa indikator sosial lainnya, pemerintah Myanmar justru memperlihatkan hal sebaliknya lewat potret Rohingnya.

Ironi ketiga adalah ironi historis sebab satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tokohnya pernah menjadi Sekretaris Jenderal Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (Sekjen DK PBB) adalah Myanmar. Sebenarnya ini adalah modal historis dan politis bagi Myanmar untuk tampil paling depan menjadi pelopor perdamaian dan keamanan dunia terutama dalam isu jaminan perlindungan kemanusiaan.

Tragedi Rohingnya yang tak kunjung memperlihatkan ujung penyelesaian damai tersebut, memperlihatkan kelemahan negara Myanmar dan komunitas internasional yang diwakili oleh PBB dan ASEAN secara regional. Myanmar sebagai negara yang mendapat pengakuan lembaga-lembaga resmi internasional gamang dalam mewujudkan komitmen perdamaian dunia, demikian juga PBB dan ASEAN. Rohingnya adalah ujian berat bagi keduanya.

 

Pernyataan Sikap Pimpinan Pusat Lajnah Tanfidziah Syarikat Islam Terkait Kekerasan Terhadap Etnis Rhingnya

 

Oleh sebab itu, sebagai bentuk keprihatinan dan solidaritas kemanusiaan untuk etnis Rohingnya di Myanmar, Ketua Umum Pimpinan Pusat Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam, DR. H. Hamdan Zoelva menyatakan sikap resmi, (2/9/2017) yakni, Mengutuk keras persekusi negara atas etnis Rohingnya atas nama apa pun. Sebab penyelesaian damai masih sangat terbuka untuk dilakukan.

Mengingatkan dan mendesak pemerintah Myanmar untuk mematuhi komitmen internasional, tentang perlindungan dan penegakan HAM dengan memberi jaminan kehidupan damai dan berkeadilan bagi etnis Rohingnya.

Mendesak pemerintah Indonesia untuk mengambil inisiatif bagi proses penyelesaian damai dan perwujudan kehidupan yang layak bagi etnis Rohingnya.

Mendesak otoritas ASEAN untuk memberikan teguran keras dan mempertimbangkan sanksi keanggotaan bagi Myanmar jika tidak mematuhi komitmen damai di kawasan Asia Tenggara.

Mendesak PBB untuk melakukan langkah-langkah yang tepat untuk menghentikan persekusi atas Etnis Rohingnya dan mewujudkan penyelesaian menyeluruh bagi pemenuhan HAM atas warga negara Myanmar di Rohingnya dan mengakhiri tragedi kemanusiaan di wilayah itu. (Rilis/*)

Check Also

Bersama Bupati, Gubernur Sulbar Komitmen Untuk Membangun Polman

Polman, 8enam.com.-Gubernur Sulawesi Barat, Suhardi Duka (SDK) menegaskan komitmennya untuk berkolaborasi dengan Bupati Polewali Mandar …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *