Mateng.-Tulisan ini menceritakan tentang kisah seorang anak desa yang tinggal di pelosok Kecamatan Topoyo Kabupaten Mamuju Tengah, Provinsi Sulbar, tepatnya di Desa Salule’bo.
Anak desa itu adalah Waldi alias Pedo (panggilan akrab Waldi), dia adalah salah seorang siswa di sekolah alam Salule’bo.
Tidak ada yang istimewa pada diri Pedo, bahkan Pedo dianggap siswa yang paling bodoh di sekolahnya.
Kata bodoh yang disematkan pada diri Pedo bukanlah tanpa alasan, sebab Pedo memang tidak seperti teman-teman sekelasnya yang memiliki kemampuan akademik diatas rata-rata untuk ukuran anak di desa, sementara Pedo kemampuan akademiknya jauh dibawah rata-rata.
Lantas bagaimana seorang Pedo kini bisa menjelma menjadi seorang penceramah dengan menguasai tiga bahasa.
Itu berawal dari kesabaran, keikhlasan dan ketekunan seorang Aco Muliadi dalam mendidik Pedo.
Aco Muliadi, yang akrab dipanggil “Pak Guru Uwe” oleh siswanya menuturkan, satu diantara 5 titik pembelajaran yang dipunyai oleh sekolah alam Salulebo, adalah titik pembelajaran kilometer 18 yang dibuka sejak tahun 2008.
Di titik pembelajaran ini, Aco’ Mulyadi sebagai penggagas pembelajaran alternatif, mempunyai seorang siswa bernama Waldi atau yang lebih dikenal dengan panggilan Pedo.
Dia menyampaikan, Pedo adalah murid yang memang harus diberikan perhatian dan penanganan khusus, mengingat tingkat kemapuan akademiknya dibawah rata-rata, tidak hanya dalam kelas, tapi untuk satu sekolah di titik pembelajaran km 18.
Sebagai gambaran tingkat kemampuan akademis si Pedo, sedikit saya punya cerita yang cukup menarik, kata Aco Mulyadi.
Pedo, sampai dengan kelas 5 SD belum bisa baca tulis, dalam arti yang sesungguhnya. Namun, lagaknya yang “Pede” an super aktif membuat dia merasa bisa dan memamerkan kemampuannya kepada kawan-kawan dan guru-gurunya, tentu saja ini mengundang tawa dan kelucuan.
Sebab buku tulisnya yang penuh dengan tulisan yang dibanggakannya itu hanya berisi 2 baris kalimat “Mangga pak guru dan Apel bu guru”.
“Dua buah kalimat pendek itulah yang ditulis berulang-ulang di dalam buku tulisnya sampai buku tersebut penuh,” kata Aco Mulyadi
Ketika guru-gurunya memberi soal semester, maka dengan penuh semangat dan dengan tingkat ke PD an yang amat tinggi, Pedo akan menjawab semua soal-soal itu dengan antusias, mulai dari matematika hingga bidang studi bahasa dan agama, serta soal2 bidang study yang lainnya.
Didalam buku-bukunya tempat Pedo menjawab semua butir soal-soal dari semua bidang study tersebut, akan terjawab dengan satu jenis jawaban, “Mangga Pak Guru dan Apel Bu Guru. Tak peduli mau itu soal matematika atau soal bidang studi lainnya, jawabanya pasti seragam, “Mangga pak guru dan Apel bu guru”.
Akibatnya, setiap penaikan kelas pastilah ibu Rita (guru sekolah Pedo) kasi tinggal, karena nilai di rapornya nol semua.
Bukanlah Pedo jika tinggal kelas, sebab ini akan membuat dia nelangsa dan kecewa.
Namun sama sekali keputusan Rita tak mempengaruhinya, sebab ketika tahun ajaran baru mulai, yang artinya, semua siswa yang naik kelas harus menggeser posisinya ke kelas lain, si Pedo pun akan ikut bergeser, dan ini, bukankah berarti bahwa “Pedo'” pun naik kelas.
Tingkah Pedo ini membuat beberapa guru sempat sewot dan memaksanya untuk kembali ketempat awalnya, dan disaat inilah Pedo memperlihatkan sikap menolak dengan sangat serius.
“Dalam situasi seperti ini, saya kemudian datang menengahi dan membolehkan Pedo untuk duduk bersama dengan kawan-kawanya yang naik kelas,” ujar Uwe Aco.
Kata Aco Mulyadi, ada satu keistimewaan yang dimiliki oleh Pedo yang selama ini menjadi perhatian saya, yakni sifat rajin dan konsisten terhadap apapun, termasuk dalam membela pendapatnya.
Pendapat Pedo Yang Terbukti Dan Nyata
Pada suatu hari, dalam program pendekatan dan pembimbingan kepda Pedo, saya mengajaknya jalan-jalan disekitar pinggir hutan kecil di dekat sekolah. Tak lama kami berjalan tiba-tiba saya melihat seekor burung yang cantik diatas sebuah rating yang terlindung oleh cabang besar.
Iseng, saya hendak menguji kemampuan analisa dan logika Pedo. Hitung-hitung ini adalah kesempatan buat saya untuk merangsang daya nalar dan analisis si Pedo, sekalian menegur kebodohannya “kataku dalam Hati”.
Akhirnya, saya memintanya untuk menembak burung tersebut dengan menggunakan katapel yabg memang selalu dibawahnya kemana mana.
Menanggapi permintaan saya, Pedo pun mecari batu kerikil dengan bentuk bulatan sedemikian untuk dijadikannya peluru katapelnya.
Kini dia dalam posisi membidik. Dengan pasti dia membentang karet katapel untuk dilesatkan dengan kencang, namun sebelum batu di pengait katapel melenting ke udara, saya mencoba untuk menghalanginya.
Pelan dia mengendurkan kembali tarikan karet katapelnya yang sudah kencang maksimal. Dengan heran dan dengan wajah penuh tanda tanya, Pedo menatapku dengan wajah berkerut, sambil mengedip-ngedipkan sebelah matanya yang tadi sudah sempat dipejam untuk meluruskan bidikan ketapelnya.
Sebelum Pedo menyampaikan kata, protes, tanya, dan kalimat lainnya, saya sudah mendahuluinya ber ujar. “he Pedo” kata ku dengan serius. Dalam hati saya berkata, ini saat yang tepat untuk memperlihatkan ke pada Pedo, betapa bahayanya bagi seseorg jika bodoh dan tak berfikir.
“Kamu itu pedo, coba perhatikan nak, kan letak burung itu ada diatas dahan yang besar, jika kamu membidiknya dari sini, ataupun kamu ke sisi yang disana, burung itu tetap tak kan dapat kamu bidik, sebab batumu hanya akan mengenai dahan besar itu,” kata Aco Mulyadi kepada Pedo.
“Coba kamu lihat nak, di posisi manapun kamu membidik tak ada tempat selain posisinya selalu terlindungi. Makanya Pedo?, kamu harus sekolah supaya dapat berfikir, dapat menilai dengan baik, yang mana bisa dan yang mana tidak bisa,” ujarnya lagi.
Saya terus berceloteh memberi dia masukan, berharap apa yang saya sampaikan menjadi pencerah baginya, dan dapat memahami kebodohan serta ke naifannya sebagai seorang Pedo yang bodoh dan butuh belajar banyak.
“Tidak pak uwe”. Pedo memotong ucapanku yang sudah cukup panjang dan lebar, Pedo membantah pendapatku tentang tidak bisanya burung itu dibidik.
Dengan logat Pattae yang kental dan dalam narasi yang sulit di pahami, Pedo ngotot membela pendapatnya soal posisi burung buruannya.
“Saya sadar bahwa saya tak perlu berdebat dengan seorang anak kecil, apalagi dengan kapasitas seperti Pedo ini,” gumamnya dalam hati
Walhasil, si Pedo pun mencari tempat dan mengancang-ancang hendak memburu burung yang saya reques tadi.
Namun, sejurus dia tertegun dan kelihatannya mengamati dengan serius. Saya tak pasti apa yang dia amati dengan cermat itu, apakah dia sedang mengamati buruannya atau sedang mempertimbangkan medan sulit untuk membidik buruannya.
Saya pun membiarkannya untuk melanjutkan usahanya menjatuhkan burung yang di bidiknya.
Ternyata….!! Seketika sikap arogan dan superioritasku runtuh. Saya terkesima dengan apa yang terjadi pada detik-detik terakhir batu peluru Pedo melesat mencapai sasarannya. Seekor burung yang cantik menggelepar dihadapanku dengan sayap yang patah
“Saya benar-benar terkesima dengan kemampuan Pedo, tidak dalam keahlian membidik, tetapi kalkulasi yang matematis dalam membangun pengetahun ilmu pisika terapan, dimana dia mampu menerapkan hukum kekuatan lentingan dan daya dorong serta perbenturan satu benda dengan benda lainnya,”
Seperti faham apa yan sedang berkecamuk dalam benak pikiranku, Pedo kemudian menjelaskan aksi membidik yan berhasil baru saja di lakukannya.
Bidikan Pedo tepat mengenai sasaran, justru disaat saya sedang mentertawai di dalam hati tentang kebodohan dan ketololannya.
Saya benar-benar merasa kalah dan kerdil dihadapan pedo yang mampu membatahkan pendapatku dan membuktikan bahwa dirinyalah yang benar.
Gelepar burung cantik dihadapanku adalah argumen tak terbantahkan betapa pendapat Pedo, meski dalam narasi bahasa yang sederhana bahkan kacau tapi terbukti benar secara nyata.
Intinya, buruan Pedo tersasar secara tepat ke sasaran, karena bidikan yang tepat dan cermat serta memanfaatkan lontaran batu krikil dari lentingan akibat benturan pokok kayu yang keras. Sungguh sebuah kalkulasi matematis yg mumpuni dari seorang Pedo, yang terlihat culun dan jorok dimana di kedua lobang hidung timbul tenggelam, maaf, ingus mengikuti irama tarikan nafasnya.
Pedo Yang Bodoh Jadi Penceramah Handal
Akhirnya, tibalah masa ujian nasional itu. Saya kemudian sibuk menyiapkan keperluan ujian bagi semua siswa kls 6 di 5 titik pembelajaran Sekolah Alam yang saya dirikan di awal januari 2005, termasuk untuk kebutuhannya si Pedo, mulai dari seragam hingga papan pengalas dan pensil 2B.
Mau tidak mau, pelanggaran aturan Tatib pelaksanaan UN mesti terjadi. Dengan debat dan pertengkaran kecil yang saya lakukan dengan para panitia, akhirnya saya di beri “izin” dengan sembunyi-sembunyi mengisikan bio data Pedo di lembar kerja komputer (istem pelaksanaan UN pada waktu itu).
Sungguh kejadian ini membawa hikma dan perenungan buat saya, betapa kita manusia harus menyadari bahwa Allah Ta’ala menciptakan hambanya yang bernama manusia dalan kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Sejak saat kejadian itu, saya semakin aktif memperhatikan Pedo. Tatkala para guru memberi keputusan untuk tidak mengikutkannya ujian nasional di kls 6, justru saya memaksa dan meyakinkan mereka untuk mengimput nama “WALDI” sebagai salah seorang calon peserta ujian nasional di 2010-2011.
Lantas apa yang dapat dibuat Waldi alias Pedo dalam menghadapi UN tersebut, sedangkan dalam buku tulisnya yang telah penuh dengan tulis tangannya yang lumayan rapi itu hanya tertulis “Mangga pak guru, apel bu guru” yang ditulisnya sejak kls 5.
Namun Tuhan berkehendak lain, setelah menempuh dan menyelesaikan pendidikannya di sebuah pesantren. Pedo yang dipandang sebelah mata itu, kini menjadi seorang penceramah handal dalam tiga bahasa yakni bahasa Inggris, Arab, dan Pattae’.
Pesan penting dari narasi ini adalah, dapatkah seorang Pedo dalam kelebihannya saat ini kita saksikan, jika kita menggunakan standar normatif yang telah ditentukan oleh dunia pendidikan kita?
Sungguh tak terhitung Pedo-Pedo yang lain yang tersebar di setiap sudut negeri, yang telah menjadi korban atas aturan yabg kaku dalam penyelenggaraan sistem pendidikan. (**)