Penulis : Dwi Ardian, S.Tr.Stat.
Statistisi di BPS Provinsi Sulawesi Barat
Opini.-Sebagai pemotret dan pengumpul data di lapangan, penulis tentu sering mengumpulkan data fenomena di lapangan. Tentunya data hingga ke level terkecil, desa, bahkan dusun. Yang menarik untuk diceritakan bahwa pembangunan sekarang benar-benar dari desa. Tentu terlepas dari masih ditemukannya oknum-oknum nakal yang memainkan anggaran.
Belakangan, di tengah masa pandemi Covid-19 pun demikian, sepanjang jalan yang dilalui penulis, banyak pembangunan saluran irigasi, jembatan, jalan, dan lainnya. Di sekitar mereka disertai para pedagang kaki lima yang menyuplai makanan dan jajanan bagi para pekerja. Sebuah harmoni peningkatan ekonomi masyarakat bawah. Tentu rasa penasaran hadir. Ternyata, setelah berbincang dengan mereka (pekerja) bahwa program ini adalah salah satu program Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dalam pemulihan ekonomi nasional (PEN). Pemberdayaan masyarakat.
Saat masuk ke perkampungan pun akan banyak dilihat bahwa rumah warga semakin meningkat kualitasnya. Yang dulu berlantai tanah, kini berlantai semen dan keramik. Yang dulu beratapkan ilalang dan rumbia serta berdinding bambu, sekarang beratap seng dan berdinding bata dan tembok.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa persentase rumah tangga perdesaan dengan jenis atap layak semakin meningkat dari 92,27 persen di tahun 2018 menjadi 93,43 persen di tahun 2020. Persentase rumah tangga perdesaan yang menempati rumah dengan jenis dinding layak juga mengalami peningkatan dari 96,67 persen di tahun 2018 menjadi 97,17 persen di tahun 2020. Ditambah, fasilitas mandi-cuci-kakus (MCK) yang mudah ditemui. Berbanding terbalik saat beberapa tahun lalu di mana warga buang air di sungai atau di kebun.
Dulu ada anggapan bahwa pembangunan hanya dilakukan di Pulau Jawa saja dan pembangunan hanya terpusat di kota. Istilah Jawa sentris sempat mengemuka karena penulis yang tinggal di kawasan timur Indonesia hanya bisa melihat melalui televisi mengenai bangunan-bangunan megah di kota.
Desa Membangun
Pembangunan infrastruktur merupakan visi utama pemerintahan Presiden Joko Widodo. Hal ini tercantum dalam Nawacita poin kedua Jokowi-JK periode pemerintahan pertamanya pada 2014-2019. Slogan “desa membangun Indonesia” begitu ditekankan, yakni membangun ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan infrastrukturnya. Kemudian, “pembangunan dari bawah” itu tetap dilanjutkan dan diperkuat pada periode pemerintahan kedua (2019-2024) pada visi pertama dari lima visi yang dicanangkan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, sasaran pembangunan adalah mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur melalui percepatan pembangunan di berbagai bidang.
Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan perlahan tapi pasti telah dilaksanakan dengan gelontoran anggaran yang cukup besar ke desa-desa. Sejak pertama menjabat, Jokowi telah mengesahkan besaran dana desa yang cukup fantastis. Pada tahun 2015 mencapai Rp47 triliun, selanjutnya meningkat terus hingga tahun 2021 mencapai Rp72 triliun. Hal itu jika dirata-ratakan setara dengan Rp960,6 juta per desa (Kemenkeu, 2021).
Poin pertama dari lima visi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf terlihat jelas bahwa pemerintah memberikan perhatian yang sangat serius untuk pembangunan infrastruktur ini. “Mempercepat dan melanjutkan pembangunan infrastruktur” adalah kalimat lugas untuk mencapai tujuan interkoneksi infrastruktur dengan kawasan. Kawasan yang meliputi industri kecil, kawasan ekonomi khusus, pariwisata, persawahan, perkebunan, dan perikanan. Semua itu adalah penyangga ekonomi masyarakat perdesaan dan jika bisa dibangun dengan optimal maka akan menciptakan nilai tambah yang fantastis bagi perekonomian bangsa.
Meskipun pada tahun 2020 dan 2021 serapan anggaran banyak dialokasikan ulang untuk bantuan sosial kemasyarakatan, tetapi terlihat bahwa desa-desa mulai semakin berbenah dengan kemajuan yang terukur. Hal ini terlihat jelas dari indeks pembangunan desa (IPD) yang diukur oleh BPS, desa tertinggal menurun drastis dari 26,81 persen pada 2014 menjadi 17,96 persen pada 2018. Sedangkan, jumlah desa mandiri meningkat drastis dari 3,93 persen pada 2014 menjadi 7,55 persen. Itu setara dengan 2.665 desa mandiri baru pada tahun 2018.
Pembangunan infrastruktur itu semakin ditingkatkan tidak hanya bantuan dari dana desa, tetapi juga bantuan dari PUPR. Bantuan itu berupa program bantuan stimulan perumahan swadaya (BSPS). Program ini selain membantu masyarakat untuk membedah rumahnya agar menjadi rumah layak huni, juga memberdayakan masyarakat setempat sendiri untuk bekerja. Seperti yang tertuang pada RPJMN 2020-2024, rumah layak huni diharapkan dapat mencapai target 70 persen pada tahun 2024.
Rumah layak huni dengan infrastruktur dasar yang baik (seperti sanitasi) dan lingkungan yang sehat tentunya menjadi idaman banyak masyarakat. Apalagi di masa pandemi ini yang mengharuskan masyarakat untuk melakukan sebagian besar rutinitas harian di rumah saja.
Program lain dari PUPR adalah infrastruktur padat karya tunai (PKT) yang diperuntukkan agar dana tersebut sampai hingga ke desa-desa dan pinggiran. PKT diharapkan bisa menyerap tenaga kerja hingga 777.206 hingga ke level desa. Dana yang mencapai Rp12,06 triliun dianggarkan tahun 2021 dan akan terus mengalami peningkatan karena termasuk dari program PEN selama pandemi Covid-19.
Sejumlah studi empiris yang dilakukan oleh Sofi (2020), Kurnia, dan Widhiasthini (2021), serta Adji dkk. (2021) menghasilkan kesimpulan yang selaras dan seiya sekata. Implementasi PKT memberikan dampak positif dalam menyukseskan program PEN, seperti menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Investasi PKT untuk pembangunan diharapkan dapat memutus rantai kemiskinan di daerah perdesaan.
Kita tentu berharap pembangunan infrastruktur dengan menggunakan dana desa dan dana langsung dari PUPR semakin ditingkatkan. Penyelewengan anggaran dari kepala desa dan oknum pemerintah desa harus terus diusut. Hal ini untuk mengoptimalkan penyerapan anggaran sesuai peruntukannya.
Menciptakan Rasa Keadilan dan Persatuan.
Beberapa tahun silam, sekumpulan anak-anak yang bermain penuh rasa gembira menjadi viral di media sosial dan media massa. Usut punya usut ternyata pembangunan jalan aspal di desa mereka yang menjadi asal muasal kisah bahagia ini bermula. Anak-anak tersebut menyusun sandal dengan rapi di pinggir jalan dan bermain di atas jalan aspal baru tersebut tanpa alas kaki. Seorang netizen budiman pun berkomentar, “Kebahagiaan yang sederhana adalah pembangunan yang merata”. Apakah komentar tersebut lantas menjadi inspirasi tercetusnya salah satu misi Nawacita Kedua, pembangunan yang merata dan berkeadilan?
Pembangunan yang dimulai dari dan menyisir desa telah menciptakan rasa keadilan. Masyarakat perdesaan kini bisa menikmati langsung pembangunan, mengawasi dan dilibatkan langsung melalui program padat karya. Kawasan Indonesia Timur juga semakin diperhatikan dalam pembangunan. Kita akan mendapatkan komentar yang baik-baik dari saudara-saudara kita dari Papua dan Indonesia Timur lainnya beberapa tahun terakhir karena melihat pembangunan benar-benar telah hadir. Belum maksimal tetapi itu adalah langkah awal untuk pembangunan-pembangunan selanjutnya.
Pembangunan yang semakin masif bahkan selama masa pandemi pun tetap ditingkatkan. Hakikat PEN dalam pembangunan infrastruktur adalah untuk penanganan masyarakat terdampak pandemi dan masyarakat secara umum.
Pembangunan infrastruktur yang merata tentunya menjadi harapan kita bersama agar dapat terus diupayakan oleh pemerintah. Pembangunan yang tersebar ke seluruh Indonesia akan membuat rasa memiliki Indonesia semakin teguh di dalam dada anak bangsa. Mereka akan semakin yakin bahwa mereka juga putra putri kandung bangsa ini. Infrastruktur yang ciamik akan melahirkan generasi muda harapan bangsa yang lebih terdidik, bukan generasi hasil ketok magic. (*)