Penulis : Dwi Ardian, S.Tr.Stat.
Statistisi di BPS Provinsi Sulawesi Barat
Opini.-Kemiskinan adalah masalah yang dihadapi setiap negara di dunia, utamanya pada negara dunia ketiga. Negara dunia ketiga atau mayoritas negara-negara yang sedang berkembang menjadikan kemiskinan sebagai prioritas utama dalam penanganannya. Kemiskinan disebabkan oleh banyak hal seperti pendapatan nasional rendah, pendapatan per kapita rendah, ketimpangan yang besar, pelayanan kesehatan yang buruk dan terbatas, serta sarana pendidikan dan kurikulumnya tertinggal. Itu semua merupakan ciri-ciri kebanyakan yang terdapat pada negara-negara sedang berkembang (Todaro & Smith, 2006).
Permasalahan kemiskinan telah menjadi permasalahan dunia kemudian menjadi tujuan pertama pembangunan berkelanjutan (Sustainable Developments Goals, SDGs). SDGs memiliki target pada tahun 2030 nanti yakni menghapus kemiskinan ekstrem, yakni penduduk di bawah garis kemiskinan dengan daya beli $1,25 PPP (purchasing power parity). Selain itu, memastikan semua penduduk, terutama penduduk miskin dan rentan mendapat hak setara mengakses sumber ekonomi, seperti halnya layanan dasar (SDGs Indonesia, 2022).
Pemerintah dalam rancangan pembangunan jangka menengah (RPJMN) pada 2019 lalu telah menargetkan tingkat kemiskinan sudah bisa diturunkan hingga ke angka 6,5 persen-7,0 persen pada tahun 2024 (Kementerian PPN/Bappenas, 2019). Pemerintah sempat optimis terhadap angka tersebut karena melihat tren penurunan kemiskinan hingga mencapai satu digit pada tahun 2018. Sejak tahun 2015 hingga tahun 2019 tingkat kemiskinan konsisten turun dari 11,22 persen menjadi 9,22 persen. Sayangnya, memasuki tahun 2021 kembali mengalami peningkatan yang mencapai 10,14 persen (BPS RI, 2021).
Kembalinya angka kemiskinan ke angka dua digit membuat para pengamat pesimis, bahkan pemerintah sendiri, untuk bisa mencapai target penurunan kemiskinan tersebut pada tahun 2024. Apalagi, sampai saat ini pandemi Covid-19 di Indonesia sendiri belum bisa teratasi dengan baik. Pandemi Covid-19 satu-satunya alasan mengapa tidak bisa berharap banyak menurunkan kemiskinan ke tingkat terendah.
Pembatasan yang ada membuat perekonomian begitu terguncang. Pengurangan jam kerja hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) di mana-mana. Masyarakat menahan untuk membelanjakan uangnya. Akibatnya, kemiskinan kembali meningkat dimulai pada Maret 2020 sebesar 9,78 persen kemudian kembali meningkat pada September 2020 sebesar 10,19 persen, tingkat kemiskinan itu setara dengan 27,55 juta orang (BPS RI, 2021).
Kemiskinan saat pandemi Covid-19 bisa terlihat pada periode Susenas Maret 2020 hingga Maret 2021. Berarti bahwa ada 3 periode survei yang telah dilalui selama pandemi Covid-19 ini, yakni Susenas Maret 2020, September 2020 dan Maret 2021.
Kemiskinan setelah pandemi bisa dilihat saat ditemukannya kasus pertama pada awal Maret 2020, sehingga kita bisa membandingkan kondisi kemiskinan 3 periode Susenas sebelum pandemi Covid-19 dan 3 periode Susenas setelah pandemi Covid-19. Ada perbedaan yang cukup signifikan kondisi kemiskinan setelah pandemi Covid-19, di mana jika sebelumnya ada kecenderungan mengalami penurunan, maka setelahnya mengalami kenaikan.
Kondisi kemiskinan di perkotaan dan perdesaan sama-sama terdampak Covid-19. Pada September 2019 kemiskinan di perkotaan mencapai titik terendah sebesar 6,56 persen, terus mengalami peningkatan hingga 7,89 persen pada Maret 2021. Begitu pun di perdesaan pada September 2019 mencapai 12,60 persen, terus meningkat hingga 13,20 persen pada September 2020, dan ada penurunan tipis pada Maret 2021 menjadi 13,10 persen.
Ada kecenderungan kenaikan angka kemiskinan selama masa pendemi Covid-19. Pada September 2019 angka kemiskinan menyentuh angka terendah dalam sejarah Indonesia yakni mencapai 9,22 persen. Setelah memasuki Bulan Maret 2020, bertepatan dengan bulan kasus pertama ditemukannya orang yang terinfeksi Covid-19 di Indonesia, kemiskinan kembali meningkat.
Kemiskinan pada periode Maret 2021 cenderung bisa ditekan setelah mengalami kenaikan di September 2020. Hal ini karena peningkatan anggaran bantuan sosial dari pemerintah dan program penanggulangan ekonomi nasional lainnya. Pemerintah menganggarkan untuk sektor kesehatan mencapai Rp63,51 triliun, perlindungan sosial Rp220,39 triliun, serta sektoral K/L dan Pemda Rp66,59 triliun. Program yang mendukung UMKM Rp112,44 triliun, pembiayaan korporasi Rp60,73 triliun, serta insentif usaha Rp56,12 triliun (Kemenkeu RI, 2021).
Program sosial yang diyakini bisa cukup menjaga konsumsi masyarakat menengah ke bawah adalah PKH, kartu sembako, BLT dana desa, bantuan beras, bantuan tunai sembako, serta subsidi listrik. Kemudian berbagai program lain yang juga sedikit menjaga pertumbuhan ekonomi agar tidak terlalu terperosok ke titik terendah. Penurunan tipis angka kemiskinan di perdesaan kemungkinan besar karena program sosial yang kebanyakan disalurkan langsung ke desa termasuk BLT dari dana desa yang dimaksimalkan penggunaannya untuk semua rumah tangga di desa.
Menahan Laju Kemiskinan
Kemiskinan yang ada begitu kompleks sehingga membutuhkan penanganan yang kompleks juga. Menurut Todaro dan Smith penyebab kemiskinan antara lain adalah Tingkat pendapatan nasional Negara-negara berkembang terbilang rendah dan laju pertumbuhan ekonominya tergolong lambat.
Pendapatan per kapita negara-negara dunia ketiga juga masih rendah dan pertumbuhannya amat sangat lambat, bahkan ada beberapa yang mengalami stagnasi. Distribusi pendapatan amat sangat timpang. Mayoritas penduduk di negara-negara dunia ketiga harus hidup di bawah tekanan kemiskinan absolut. Fasilitas dan pelayanan kesehatan buruk dan sangat terbatas, kekurangan gizi, dan banyaknya wabah penyakit sehingga tingkat kematian bayi di negara-negara dunia ketiga sepuluh kali lebih tinggi disbanding dengan yang ada di negara maju. Fasilitas pendidikan di kebanyakan negara-negara berkembang maupun isi kurikulumnya relatif masih kurang relevan maupun kurang memadai.
Oleh karena itu perlu penangan dengan memberikan bantuan kepada masyarakat yang jauh di bawah garis kemiskinan untuk menjaga daya beli mereka. Pemerintah juga perlu memastikan bahwa usia produktif benar-benar terserap ke dunia kerja dengan pendapatan yang memadai. Di sisi lain perlu terus peningkatan keterampilan masyarakat agar bisa beradaptasi dengan kondisi dunia kerja yang semakin maju. (*)