Mateng, 8enam.com.-Ada apa dengan sekolah alam Salule’bo? Sebuah pertanyaan yang sampai saat ini belum ada jawabanya. Meskipun SD Salunusu atau yang akrab disebut oleh masyarakat sekolah alam telah berhasil melahirkan generasi cerdas sesuai amanat Undang-undang yakni mencerdaskan kehudupan bangsa.
Namun sayang, sekolah yang berdiri puluhan tahun tersebut harus menelan pil pahit, tepat pada tahun 2018, sekolah alam itu harus dibubarkan entah dengan alasan apa. Hal hasil, siswa yang belajar disekolah alam harus kecewa, ada yang mengikuti gurunya ke Desa Budong-budong bahkan ada juga yang tidak mau melanjutkan sekolahnya meskipun di Desa Salule’bo telah berdiri gedung sekolah.
Ada apa dengan sekolah alam, darimana asal nama sekolah alam itu, kenapa siswa sekolah alam tidak mau menempati gedung sekolah yang dibangun oleh Pemerintah?
Berangkat dari hal itu, Solidaritas Pemuda dan Mahasiswa Sulbar (SPMS) menggelar diskusi yang bertajuk kemah ilmiah, Sabtu (20/7/2019) malam.
Diskusi dipusatkan balai pertemuan Desa Budong-Budong Kecamatan Topoyo Kabupaten Mamuju Tengah (Mateng) Sabtu (20/7/2019) malam dihadiri oleh Mahasiswa KKN Unsulbar, mahasiswa, tokoh pemuda, tokoh masyarakat dan orang tua siswa serta siswa sekolah alam.
Aco Mulyadi salah satu inisiator penyelamat anak-anak Desa Salule’bo yang putus sekolah menuturkan, dirinya bukanlah seorang pendidik meskipun saat dirinya kuliah mengambil jurusan pendidik. Dia mengaku tidak bercita-cita menjadi seorang guru, apalagi mau mendirikan sekolah alam. Sama sekali tidak ada terbersit dalam pikiranya.
Awalnya dirinya ingin mencurahkan pikiranya untuk pendampingan kepada masyarakat khusus kasus agraria. Kasus agraria itulah yang membawa dirinya Desa Salule’bo.
“Akhir tahun 2004 saya naik ke Desa Salule’bo dalam kasus agraria. Saat saya melakukan pendampingan kasus agraria di Desa Salule’bo, saya melihat sebuah kenyataan yang sangat miris, saat itu saya melihat anak-anak bertelanjang dada main disungai, main dalam hutan, masuk dikebun-kebun pada jam-jam dimana mereka harus berada didalam ruang kelas untuk sekolah. Inilah yang membuat saya penasaran,” tutur Aco Mulyadi.
Selanjutnya, Aco Mulyadi bertanya kepada salah seorang warga, kenapa ana-anak itu tidak sekolah? Bagaimana anak-anak ini mau sekolah, sekolahnya jauh jawab masyarakat itu. Aco Mulyadipun balik bertanya, berapa kilo jauhnya? Bukan hanya soal jauhnya, tapi medannya sangat sulit untuk menjangkau sekolah itu kata warga menjawab pertanyaan Aco Mulyadi.
“Rasa kepedulian tentang pendidikan itu muncul, lalu kepada mereka (Simon Duri atau yang akrab disapa Ambo Jeppi orang tua siswa) bersama masyarakat yang lain saya tanya, bagaimana kalau anak-anak ini kita kasi sekolah. Mereka bilang, bagaimana mau kasi sekolah anak-anak sementara bangunan sekolah tidak ada apalagi gurunya. Saat itu saya menjawab, kalau KH Dewantoro bisa mendirikan taman siswa, kenapa kita tidak bisa. Alhamdulillah mereka mengiyakan,” ujarnya.
Selanjutnya, Aco Mulyadi minta beberapa anak muda yan bisa baca tulis untuk mendaftar nama anak-anak usia sekolah itu dan dipisahkan berdasarkan umurnya dengan tujuan untuk mempermudah menempatkan mereka dikelas berapa dan tingkat sekolah apa.
Setelah anak-anak itu kumpul kata Aco Mulyadi, lalu anak-anak itu dibawa ke sebuah bangunan yang saat itu satu-satunya bangunan yang ada adalah gereja, tidak ada papan tulis, kapur tulis intinya tidak ada apa-apa. Lalu bagaimana caranya untuk bisa mengajar.
“Selalu ada cara jika kita memiliki kemauan, waktu itu saya melihat ibu-ibu sedang memasak, lalu saya ambil arang dari sisa kayu yang dibakar saya bawa kedalam gereja. Dengan bermodal arang sebagai alat tulis, saya membimbing anak-anak itu untuk menuliskan angka, huruf di dinding gereja karena tidak ada papan tulis. Yang kebutulan gereja itu difungsikan untuk tempat ibadah pada hari Minggu, kalau gereja itu digunakan pada saat hari-hari perayaan, anak-anak ini saya bawa ketempat lain seperti dibawah kolong rumah, pinggir sungai untuk belajar. Ini berlangsung beberapa semester,” bebernya.
Lanjutnya, suatu ketika dirinya turun ke Kecamatan bertemu dengan KCD kecamatan Topoyo yaitu Alm Idham. Kepada dia Aco Mulyadi menceritakan semua aktivitas dirunya terkait dengan pembelajaran siswa di Desa Salule’bo. Gayung bersambut, Alm Idham merespon dan memberikan dua dos buku paket dan kapur tulis.
“Dengan riang gembira saya kembali ke Salule’bo untuk menyampaikan bahwa mendapat dukungan dari KCD. Esok harinya orang tua siswa gotong royong membuat papan tulis namun tempatnya tetap sama, kadang dalam gereja, bawah pohon kayu, pinggir sungai. Saya memamfaatkan alam itu untuk tempat belajarnya anak-anak,” ungkapnya.
Satu Minggu setelah pertemuan dengan Alm Idham, Aco Mulyadi mendengar tentang nomor induk sekolah yang ditempati untuk mengajar itu sudah ada. Artinya sudah resmi pembelajaranya menjadi sebuah sekolah SD Kecil. Lalu SD Kecil ini diberi nama SD Kecil Salunusu. Itulah bentuk kehadiran pemerintah terhadap pembelajaran yang dirinya lakukan, ada proses belajar, resmi, negeri tetapi tidak punya bangunan.
“Keadaan itu sampai tahun sekarang ini, saya tidak diberikan bangunan. Kecuali bangunan yang dibangu pada tahun 2014, tapi bangunan itu jujur saya tidak tahu untuk siapa. Nanti akahir-akhir ini saya didesak untuk menempati bangunan itu, barulah saya tahu kalau bangunan itu diperuntukan untuk SD Kecil Salunusu. Kenapa saya tidak tahu, karena pada saat bangunan itu dibangun tidak ada papan proyeknya. Dan parahnya lagi tiga hari setelah bangunan itu rampung, bangunan itu sudah retak, sehingga saya tidak berani masuk,” bebernya.
Seiring waktu, masyarakat melihat proses belajar mengajar dilaksanakan dialam, dipinggir sungai dan dalam hutan. Lambat laun sekolah itu dikenal sebagai sekolah alam yang sampai saat ini nama sekolah itu masih melekat dengan nama sekolah alam. Dikenalnya SD Kecil Salunusu dengan nama sekolah alam, Aco Mulyadi tidak bisa mempersalahkan orang kalau mereka menyebut sekolah itu dengan sebutan sekolah alam.
“Saya buka regulasi, saya tidak menemukan satu pasalpun yang tidak memperbolehkan atau menghalangi sekolah alam itu statusnya negeri. Tetapi kemudian kita dipersoalkan, hari ini kita mengalami nasib sial. Misi saya membelajarkan sehingga merangsang anak-anak untuk belajar, memotivasi mereka untuk belajar dan memastikan kepada orang tua murid bahwa dengan belajar nasib masa depan anak-abaknya jauh lebih bagus meskipun tidak ada jaminan untuk kaya,” ungkapnya.
“Ditengah saya berjuang untuk meyakinkan orang tua murid tentang pentingnya pendidikan, malah ada gangguan yang membuat saya bertanya-tanya ada apa ini, kenapa kita diganggu. Dengan kejadian itu, anak-anak yang awalnya memikiki semangat untuk belajar merasa terganggu,” sambungnya.
Dia menuturkan, Mereka adalah belajar dan orang yang bekerja. Mereka belajar bekerja untuk mengatasi sebuah problem. Bagi mereka semua waktu adalah waktu untuk belajar, bagi mereka semua tempat adalah tempat untuk belajar karena mereka sudah terbiasa belajar dimanapun. Mereka juga sangat menerima orang lain yang datang mengajar, karena bagi mereka semua orang datang itu membawa pengalaman baru. Bagi mereka semua sumber adalah guru. Itulah anak-anak sekolah alam yang berproses sehak tahun 2004.
Harapan agar sekolah alam itu tetap berlanjut juga disampaikan oleh anggota DPRD Mateng dari komisi 3, Ince Irwan Tahir. Dia katakan, terkait regulasi, forum seperti sudah sering dilakukan bahkan forum resmi juga sudah pernah dilaksanakan yang difasilitasi melalui komisi 3 DPRD Kabupaten Mateng. Ketika Dinas Pendidikan ditanya apa yang menjadi sebuah pelanggaran yang dilakukan oleh kawan-kawan selaku penggiat sekolah alam, jawabanya selalu tidak ada.
“Ketika saya tanya apakah sekolah alam itu tidak bisa kita laksanakan dialam terbuka, jawabannya juga boleh. Sehingga pas dengan tema diskusi malam ini yaitu ada apa dengan sekolah alam Salule’bo. Karena sudah dipertanyakan melalui yang membidangi jawabanya tidak melanggar, tapi disisi lain sekolah alam tergeser dari tempatnya,” terang Ince.
Bahkan saat pertemuan beberapa waktu lalu kata Ince, ada komitmen untuk melakukan pertemuan di Desa Salule’bo yang difasilitasi oleh Kepala Desa Salule’bo menfhadirkan DPRD, Dinas Pendidikkan, siswa, orang tua siswa. Tapi sampai hari ini belum terlaksana.
Pertanyaan tentang ada apa dengan sekolah alam Salule’bo masih menjadi sebuah pertanyaan. Sehingga dari beberapa masukan dan saran dari peserta diskusi mengerucut bahwa, apapun statusnya mau negeri ataupun swasta, mau SD Salunusu atau Sekolah alam, anak didik itu harus tetap diselamatkan.
Semua stakeholder, pemangku kepentingan, dinas terkait, orang tua siswa dan siswa harus kembali duduk bersama mencari solusi untuk menyelamatkan anak didik yang ada di SD Kecil Salunusu yang akrab disebut sekolah alam. (wan/one)