Penulis : Dina Srikandi, SST., M.Si
Statistisi pada BPS Provinsi Sulawesi Barat
Pemerintah sempat mengeluarkan aturan pelarangan ekspor untuk minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan turunannya pada tanggal 28 April 2022, namun ternyata kebijakan ini menyebabkan harga tandan buah segar (TBS) sawit jatuh. Sehingga kebijakan ini menuai banyak kritikan. Belum cukup sebulan pada tanggal 23 Mei 2022 pemerintah kembali membuka keran ekspor CPO dan turunannya dengan mencabut larangan tersebut. Meski terkesan plin-plan namun banyak pihak yang menyetujui pencabutan ini terutama para petani sawit yang merasakan langsung dampaknya.
Dilematis memang, pelarangan ekspor CPO dan produk turunannya diberlakukan untuk menurunkan harga minyak goreng yang sempat melambung tinggi. Harapannya jika ekspor dilarang maka stok minyak goreng di dalam negeri akan meningkat bahkan mungkin melimpah sehingga harga minyak goreng akan cepat mengalami penurunan dan kemudian menjadi stabil. Namun di lain sisi ternyata pelarangan ekspor ini berimbas pada jatuhnya harga tandan buah segar (TBS) sawit sehingga kelangsungan hidup para petani sawit pun berada di ambang kehancuran.
Fenomena ini dirasakan secara global oleh petani sawit yang merasa dirugikan oleh adanya kebijakan pelarangan ekspor tersebut. Tak terkecuali di Sulawesi Barat yang juga merupakan salah satu daerah penghasil sawit di Indonesia.
Salah satu indikator yang digunakan untuk melihat tingkat kemampuan atau daya beli petani di perdesaan adalah Nilai Tukar Petani (NTP). NTP merupakan rasio antara Indeks Harga yang diterima oleh petani (It) dan Indeks Harga yang dibayar oleh petani (Ib). It merupakan indikator tingkat pendapatan produsen petani, sedangkan Ib dari sisi kebutuhan petani baik untuk konsumsi maupun biaya produksi.
Dampak pelarangan ekspor CPO dan produk turunannya turut dirasakan oleh petani sawit di Sulawesi Barat. Hal ini tergambar pada Nilai Tukar Petani (NTP) yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), NTP Sulawesi Barat pada Mei 2022 tercatat sebesar 114,00 atau turun sebesar 10,41 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Penurunan NTP dikarenakan indeks harga yang diterima petani mengalami penurunan tajam sebesar 10,18 persen, sedangkan indeks harga yang dibayar petani hanya naik sebesar 0,25 persen. Subsektor yang mengalami penurunan paling tajam sekaligus memberikan pengaruh paling besar terhadap turunnya NTP Sulawesi Barat Mei 2022 adalah subsektor tanaman perkebunan rakyat. Subsektor ini mengalami penurunan sebesar 17,47 persen. Hal ini dikarenakan nilai yang diterima petani subsektor tanaman perkebunan rakyat mengalami penurunan sebesar 17,26 persen yang disebabkan oleh turunnya indeks kelompok tanaman perkebunan rakyat khususnya komoditas kelapa sawit.
Langkah strategis harus segera diambil oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini. Hal tersebut dilakukan untuk menghadapi dampak jangka pendek, pemerintah perlu memastikan untuk mendorong subsektor perkebunan terutama kelapa sawit agar bisa dengan cepat bangkit dari keterpurukan. Kebutuhan dalam negeri harus menjadi prioritas utama, sehingga harga pangan dapat stabil. Selain itu, pemerintah melalui BUMN juga dapat mengambil peran yang lebih sentral dengan mengurus turunan strategis produksi sawit yaitu memproduksi minyak goreng. Sementara untuk jangka panjang, diharapkan pemerintah dapat menjamin terpenuhinya hak-hak petani dan produsen pangan skala kecil lainnya misalnya dengan mempermudah akses petani terhadap benih lokal, akses terhadap pasar, dan bantuan keuangan yang bisa dinikmati secara utuh oleh petani sehingga kesejahteraannya menjadi lebih baik. (**)