Penulis : Muhammad Mitsaq Zamir
Statistisi Pertama BPS Provinsi Sulawesi Barat
Performa neraca perdagangan Indonesia pada bulan November 2022 mengalami penurunan dibanding periode sebelumnya, ditandai dengan merosotnya pertumbuhan ekspor dan impor. Badan Pusat Statistik dalam rilis datanya pada tanggal 15 Desember melaporkan bahwa nilai ekspor Indonesia bulan November 2022 sebesar US$24,12 miliar, hanya mampu tumbuh sebesar 5,58 persen jika dibandingkan dengan ekspor November 2021 atau secara year on year (yoy). Pertumbuhan ini merupakan nilai pertumbuhan yoy terendah sejak November 2020. Sementara itu nilai Impor November 2022 tercatat sebesar US$18,96 miliar, turun sebesar 1,89 persen jika dibandingkan November 2021 (yoy). Ini merupakan kali pertama impor mengalami penurunan pertumbuhan secara yoy pada tahun 2022.
Sejak puncak performanya pada bulan Juni 2022, pertumbuhan nilai ekspor telah merosot hingga 41 persen menyusul menurunnya harga jual komoditas barang yang diekspor oleh Indonesia dikarenakan berkurangnya permintaan dan konsumsi global akibat gelombang resesi yang terjadi di berbagai belahan dunia. Hal yang relatif sama juga terjadi pada Impor. Sejak bulan Agustus, pertumbuhan nilai Impor juga terus menurun di tengah melonjaknya harga bahan bakar yang juga turut menekan aktivitas konsumsi domestik. Jika dibandingkan dengan bulan Oktober 2022 atau month to month, nilai ekspor dan impor November 2022 turun sebesar 2,46 persen dan 0,91 persen.
November 2022 merupakan bulan ke-31 Indonesia mencatat surplus neraca perdagangan secara beruntun. Surplus neraca perdagangan itu sendiri terjadi ketika nilai ekspor lebih besar dibandingkan nilai impor. Surplus November 2022 yang tercatat sebesar US$5,16 bahkan lebih tinggi dibandingkan prediksi para ekonom negeri. Surplus yang diperoleh dari transaksi perdagangan sektor nonmigas sebenarnya lebih tinggi, yakni US$6,83 miliar, namun tereduksi oleh defisit perdagangan sektor migas US$1,67 miliar. Sektor migas sendiri merupakan sektor penyumbang defisit perdagangan terbesar dengan penurunan nilai ekspor sebesar 15,23 persen yoy, kemudian disusul oleh sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan dengan penurunan ekspor sebesar 2,20 persen yoy. Sementara itu, nilai ekspor sektor pertambangan bulan November mampu mencatat pertumbuhan sebesar 22,21 yoy.
Secara umum, penurunan nilai ekspor November disebabkan oleh melemahnya penjualan minyak kelapa sawit mentah (CPO), batubara, dan suku cadang kendaraan. Hal ini diperparah dengan kebijakan pembatasan impor yang diberlakukan oleh beberapa konsumen terbesar produk Indonesia seperti negara China, India, dan Pakistan.
Sementara itu impor untuk barang konsumsi November 2022 merosot 16,20 persen jika dibandingkan impor barang konsumsi November 2021 (yoy) menyusul menurunnya permintaan konsumsi daging merah dan vaksin. Sedangkan impor bahan baku/penolong mengalami penurunan sebesar 1,82 persen yoy akibat penurunan permintaan bahan bakar diesel, bahan bakar mentah, dan gandum. Hal sebaliknya terjadi pada impor barang modal. Barang modal mencatatkan surplus impor sebesar 7,3 persen yoy akibat peningkatan permintaan akan laptop dan alat berat. Sebagian besar penurunan nilai impor disebabkan oleh penurunan permintaan untuk sereal, logam mulia, dan batubara dari negara Australia, Canada, dam Bulgaria.
Penurunan ekspor dan impor yang terjadi di November 2022 sudah sepatutnya menjadi perhatian khusus bagi pemerintah. Ini merupakan sinyal bahwa perekonomian dunia masih berada dalam keterpurukan dan belum ada tanda akan segera bangkit dalam waktu dekat. Lesunya aktivitas perekonomian dunia cepat atau lambat akan turut memberikan dampaknya pada ekonomi domestik.
Nilai ekspor yang lebih besar daripada impor atau neraca perdagangan yang surplus tidak serta-merta menandakan bahwa neraca perdagangan suatu negara tersebut berada dalam kondisi sehat. Kita tidak boleh hanya berpaku pada total net ekspor yang positif, tapi semestinya juga memperhatikan struktur dari komponen barang yang diimpor. Pemerintah harusnya menjaga proporsi Impor tetap didominasi oleh bahan baku/penolong dan barang modal yang dapat membantu produksi dalam negeri, bukan didominasi oleh barang konsumsi akhir. Karena pada akhirnya, bangsa yang kuat adalah bangsa yang mampu memenuhi kebutuhannya dari produksi domestik, bukan mengandalkan impor dari negara lain. (**)