Penulis : Muhammad Mitsaq Zamir
Seksi Statistik Produksi BPS Kabupaten Mamasa Provinsi Sulawesi Barat
Opini.-Jumat 5 Februari 2021 Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data pertumbuhan ekonomi kuartal IV 2020 serta keseluruhan tahun 2020. Hasilnya adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia masih minus di angka 2,19 persen. Pertumbuhan ekonomi yang masih negatif mengindikasikan bahwa Indonesia masih belum keluar dari zona resesi. Sebelumnya pertumbuhan ekonomi Indonesia juga mengalami minus pada kuartal II dan juga kuartal III. Namun jika dibandingkan dengan kuartal III, realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal IV bisa dibilang membaik. Seperti diketahui, pada kuartal III lalu, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi yang cukup dalam, yakni mencapai 3,49 persen. Selain Indonesia, beberapa negara sekelas Amerika Serikat, Singapura, bahkan Uni Eropa juga turut merasakan pertumbuhan ekonomi yang negatif.
Indonesia telah masuk ke jurang resesi sejak kuartal III 2020. Hal itu menyusul realisasi perekonomiannya berada di zona negatif pada kuartal III yaitu minus 3,49 persen, setelah pada kuartal sebelumnya minus 5,32 persen. Resesi adalah kondisi di mana pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi secara dua kuartal berturut-turut. Sementara itu jika diliat secara kumulatif sepanjang tahun 2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh minus 2,07 persen. Angka ini menjadi catatan terburuk sejak krisis moneter yang dialami Indonesia pada tahun 1998, 22 tahun silam. Saat itu, krisis ekonomi berkepanjangan membawa ekonomi Indonesia pada 1998 mengalami kontraksi hingga minus 13,16 persen. Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) saat itu juga tembus Rp 16.650 dari yang awalnya Rp 2.000.
Setali tiga uang dengan pertumbuhan ekonomi yang lesu, daya beli masyarakat Indonesia pun masih sangat rendah. Hal ini tercermin dari tingkat konsumsi rumah tangga nasional yang berada di level 3,61 persen pada kuartal IV 2020. Kontraksi ini terjadi pada hampir semua kelompok pengeluaran antara lain pada penjualan makanan, minuman dan tembakau; sandang; suku cadang dan aksesoris; bahan bakar kendaraan; peralatan informasi dan komunikasi; barang budaya dan rekreasi; serta barang lainnya. Sedangkan komponen pengeluaran yang mengalami kontraksi terparah adalah komponen transportasi & komunikasi, yaitu minus 9,45 persen pada kuartal IV 2020, Kemudian disusul oleh komponen Restoran & hotel yang tumbuh minus sebesar 7,48 persen.
Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan bahwa secara umum, struktur ekonomi Indonesia pada kuartal IV/2020 tidak berubah. Suhariyanto memaparkan ada lima sektor yang memberikan kontribusi, yaitu manufaktur, perdagangan, pertanian, konstruksi dan pertanian. Dari sisi produksi, Suhariyanto mengatakan Lapangan Usaha Transportasi dan Pergudangan mengalami kontraksi pertumbuhan terdalam sebesar 13,42 persen. Sementara itu, dari sisi pengeluaran, BPS mencatat Komponen Ekspor Barang dan Jasa mengalami kontraksi pertumbuhan terdalam sebesar 7,21 persen. Adapun, Impor Barang dan Jasa yang merupakan faktor pengurang terkontraksi sebesar 13,52 persen.
Namun di tengah resesi yang melanda Indonesia, masih ada beberapa sektor yang masih tetap cuan pada kuartal IV 2020. Dari beberapa sektor yang tumbuh tersebut, ada dua sektor yang tumbuh paling signifikan yaitu sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial, serta informasi dan komunikasi atau infokom. Sektor jasa kehatan dan kegiatan sosial tumbuh sebesar 11,60 persen sedangkan sektor informasi dan komunikasi tumbuh 10,58 persen. Diharapkan sektor ini nantinya akan tetap bertahan dan tumbuh hingga memasuki kuartal 1 2021, serta diikuti oleh pertumbuhan sektor sektor lainnya.
Pertumbuhan ekonomi yang negatif jika dibiarkan hingga memasuki kuartal 1 2021 maka Indonesia akan rentan masuk dalam teritori depresi ekonomi. Definisi dari depresi ekonomi itu sendiri adalah resesi ekonomi berkelanjutan yang terjadi dalam satu tahun atau lebih. Ini patut diwaspadai karena biaya pemulihan ekonomi relatif lebih mahal jika sudah terjadi depresi.
Oleh karena itu, untuk mencegah ekonomi Indonesia semakin terpuruk, pemerintah harus lebih gencar menggenjot pertumbuhan konsumsi. Caranya dengan memperbanyak stimulus berupa bantuan langsung tunai (BLT) untuk masyarakat. Terutama, bantuan subsidi upah (BSU) untuk karyawan bergaji di bawah Rp 5 juta yang sudah disetop di tahun 2021 ini. Pekerja di sektor informal yang belum menjadi anggota BPJS Ketenagakerjaan juga perlu diprioritaskan mendapatkan bantuan subsidi upah. Tidak tepat apabila yang ditambah adalah program kartu pra kerja dimana birokrasi panjang melalui pelatihan online tidak sesuai dengan kondisi saat ini dimana pekerja perlu mendapat bantuan tunai secara cepat. Tak kalah penting, pemerintah juga sebaiknya menaikkan belanja di sektor kesehatan, terutama pada program insentif untuk tenaga kesehatan (nakes). Insentif untuk tenaga medis perlu ditambah seiring jumlah kasus yang masih meningkat, rata-rata 12.000 kasus dalam 7 hari terakhir. Belanja kesehatan perlu menjadi perhatian utama jika ingin sisi permintaan masyarakat cepat pulih. (**)