Minggu , Juni 22 2025
Home / Daerah / Baju Bei Butuh Perhatian Pemerintah

Baju Bei Butuh Perhatian Pemerintah

Mamuju, 8enam.com.-Baju Bei adalah baju adat kalumpang sebagai baju kebesaran. Baju Bei pada jaman dulu hanya dimiliki oleh raja-raja atau orang yang keturunan raja. Seiring berkembang zaman, baju bei atau disebut (babu bei) sekarag dipakai diacara-acara pernikahan dan kematian.

Melalui WhatsApp, Senin (9/8/2021), Elvianti salah seorang pengrajin baju bei asal kalumpang kepada Media ini menuturkan, Baju adat kalumpang ini memang punya orang kalumpang tapi sudah seperti ikon Sulawesi Barat, karena hampir setiap ada tamu dari luar selalu disambut dengan baju bei, tapi sampai sekarang ini belum ada bantuan kepada para pengrajin untuk melestarikan budaya ini.

Elvianti mengatakan, Pemerintah hanya taunya menyewa dari pengrajin kalau ada tamu yang datang. Pemerintah bukan tidak mau tapi pemerintah selama ini memang tidak pernah melirik pengrajin baju bei, yang jadi perhatian malah penenun songket mandar dan sejenisnya, padahal yang lebih banyak dipakai di acara-acara pemerintahan adalah baju bei.

“Saya rintis usaha ini sejak 16 tahun lalu dan dari tahun ketahun peminatnya sudah banyak, tahun pertama sampai tahun ke 5 peminat bisa dihitung jari tapi sejak masuk tahun 2020 peminat sangat meningkat,” kata Evi

Menurutnya, Jika masyarakat diberi ruang untuk bisa mengembangkan baju bei maka omset yang dterima bisa sampai puluhan juta mengingat harga baju bei kisaran 2.5 sampai 4 jutaan tergantung bahan yang digunakan

“Dengan diperhatikannya pengrajin babu bei ini secara otomatis pemerintah telah memanusiakan manusia dan melestarikan budaya leluhur orang kalumpang.
Peminatnya sangat Banyak terbukti saya dapat orderan 24 pasang bulan juni lalu. uang jika dirata-ratakan 4 pasang perbulan sudah sangat bisa membantu perekonomian masyarakat karena harga perpasang dibandrol dengan harga 2.5 juta, artinya penghasilan bersih bisa sampai 8 juta perbulan,” ujarnya.

“Kita targetnya kecil saja bahwa dalam sebulan mampu menyelesaikan 4 pasang baju. Bukankah ini sangat membantu perekonomian msyarakat?,” sambungnya.

Dia pun berharap kiranya ada perhatian pemerintah kedepan karena memang selama ini pemerintah belum pernah memberikan dana ke masyarakat untuk pengembangan baju adat.

“Pemerintah sekarang saya berharap ada kedepannya. Saya pun tidak terlalu berharap cepat mengingat banyak infrastuktur yang harus dibenahi pasca gempa tapi paling tidak masuk dalam list pemerintah,” harap Elvianti

“Saya walaupun PNS tapi punya kerinduan untuk melestarikan budaya nenek moyang sehingga ditengah kesibukan saya, menjahit baju adat saya jadikan profesi ke 2 dari kerjaan saya sebagai PNS,” katanya.

Dia juga mengatakan akhir tahun 2019 orang-orang sudah mulai menjadikan baju bei sebagai baju yang layak untuk ditampilkan di khalayak rame. entah itu acara seserahan, acara lamaran, apalagi pernikahan baik orang kalumpang yang dikampung maupun yang dikota.

“Semua sudah menggunakan baju bei, sehingga baju bei adalah baju keharusan yang harus di miliki oleh setiap orang kalumpang, karena pemahaman yang sudah modern sehingga mempengaruhi tingginya permintaan, bahwa seperti tidak sah sebagai orang kalumpang kalau tdk punya baju bei,” ungkapnya.

Dia pun berharap para pengrajin ini diberi bantuan karena bahan dasar baju bei itu sendiri dibelinya dari bali seharga Rp. 400 perkilo

“Mungkin ke depan pemerintah bisa memberi perhatian kepada para pengrajin karna mengingat pengrajin baju bei ini sebenarnya lumayan banyak hanya terkendala pada dana, karena mengingat bahan dasar baku bei ini lumayan mahal yakni untuk bei itu sendiri perkilonya Rp 400 hingga Rp 600 ribu yang juga bahan dasarnya di kirim dari bali,” bebernya.

Bahan dasar ini bisa diambil langsung ke pantai-pantai tertentu tapi butuh bebera hari untuk bisa mengumpulkan perliternya karna bei ini harus dipungut satu persatu dipinggir pantai. Permasalahan tidak hanya sampai disitu, tp ketika bei tersebut bisa terkumpul masalah lain timbul yakni bagaimana cara memotong bei.

“Selama ini pengrajin memotong bei tersebut dengan menggunakan parang dengan resiko tangan bisa kena parang, karna tidak semua pengrajin memiliki gurinda pemotong sehingga pengerjaannya dilakukan secara manual. Tentu dengan waktu yang lebih lama karena untuk menghaluskan bagian tertentu dari bei tersebut masih menggunakan batu asa, bukan gurinda penghalus yang pengerjaannya dilakukan dengan mengasa satu persatu bei tersebut,” ujarnya.

“Andai saja semua pengrajin memiliki perlengkapan yang memadai dalam bekerja saya percaya para pengrajin akan lebih mudah dan cepat dalam menyelesaikan satu pasang baju bei ini,” tutup Elvianti. (edo)

Check Also

Kronologi Raibnya Dana Desa Tapandullu 388.426.000Juta, Pelaku Hingga Saat Ini Belum Diketahui

Mamuju, 8enam.com.-Uang Dana Desa (DD) Desa Tapandullu Kecamatan Simboro, Kabupaten Mamuju, Sebesar Rp 388.426.000 Juta …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *