Mamuju, 8enam.com.-Penobatan Bau Akram Maksum Da’I, sebagai Putra Mahkota Kerajaan Mamuju, yang di gelar di Rumah Adat Mamuju beberapa waktu lalu, selain di warnai aksi ujuk rasa penolakan pengukuhan Putra Mahkota Mamuju dari sejumlah kalangan keluarga kerajaan, juga melahirkan berbagai polemik dan tanggapan terkait prosesi Pengukuhan tersebut.
Prosesi penobatan Putra Mahkota Mamuju yang baru saja di laksanakan itu di hadiri sejumlah tamu undangan, termasuk di antaranya sejumlah para Raja Pitu Ulunna Salu (PUS) termasuk Tomakaka Botteng. Justru prosesi pengkuhunan tersebut disayangkan, karena di nilai tidak sesuai atau melenceng dari Sejarah perjanjian adat.
Muhammadong DM, yang mengaku sebagai anak dari Pattola Petang Indo Tomakaka Botteng. Terlihat jelas kritikan atau koreksi yang di tulis di akun Facebook resminya “Muhammadong DM” atas prosesi penobatan Putra Mahkota Mamuju tersebut.
“Sebagai anak Pattola Petanang indo Tomaka Botteng mengucapkan selamat atas pelantikan putra mahkota kerajaan Mamuju Bapak Bau’ Akram Da’i sebagai Raja mamuju (Maradika Mamuju) namun ada yg ingin saya koreksi,” tulisnya di akun facebook.
Berdasarkan perjanjian antara Maradika Mamuju dengan Tomaka Botteng, bawha ketika Tomkaka Botteng dilantik, harus duduk Maradika Mamuju menyaksikan pelantikan itu. Begitupula ketika Maradika Mamuju dilantik, duduk Tomaka Botteng menyaksikan pelantikan itu. Namun apa yg terjadi pada pelantikan Maradika Mamuju yg baru saja digelar beberapa jam lalu di rumah Adat Mamuju sudah melenceng dari perjanjian itu bahkan torehan sejarah sudah mulai dilupakan, dimana Tomaka Botteng yang seharusnya ada tempat atau ruang untuk duduk dalam prosesi pelantikan itu tak ubahnya hanya dijadikan sebagai tamu undangan yg tempat duduknya dibawa dan disejajarkan dengan undangan lainnya, sementara para perangkat adat Galaqgar Pitu dududuk diatas bersama para pemangku adat lainnya.
Perlu saya sampaikan ini, karna sya tidak ingin sejarah dibelokkan sehingga anak cucu kita akan tergiring pada sejarah yang baru. Tentu masih ada mengingat beberapa tahun lalu dimana ketika Tomaka Botteng dilantik di Desa Salletto tempat khusus dan ruang diberikan kepada Maridaka Mamuju beserta prangkat adatnya Galaqgar Pitu, ini dilakukan semata-mata untuk tdk ingin mengingkari talli terlebih kita saling menghargai semama pemangku adat, tetapi yg terjadi di pelantikan Maradika Mamuju hari ini Rabu 12 juli 2017 jauh dari apa yang telah menjadi adat kebiasaan. Semoga pelantikan Maradika Mamuju membawa kedamaian di bumi Manakarra.# silahkan kalau ada yg mau menanggapi tulisan ini akan kita diskusikan terimakasih” Tulis Muhammadong DM.
Menanggapi dari status yang di tulis tersebut, Arman Yani Aqilah mengatakan “Saya kira memang sudah banyak hal yg hilang dari esensi perjanjian (talli) yang pernah diikrarkan oleh leluhur kita dahulu…Maradika di pantai seolah-olah telah melupakan sumpah dengan memandang sebelah mata saudaranya (Tomakaka) dipegunungan…tapi saya tidak mengerti apakah ini karena ketidaktahuan, kekeliruan atau memangg kesengajaan,,,! yg jelas sumpah (talli) yang pernah diikrarkan adalah sebuah sumpah yang ketika dilanggar akan membawa musibah bagi yang melanggarnya (begitu yang disampaikan nenek moyang kami)…tapi saya hanya berharap semoga apa yabg terjadi ini bukan sebuah kesengajaan…dan memang seharusnya yang menjadi Maradika atau penerus kerajaan di Mamuju semestinya memahami sejarah dan kondisi Mamuju dengan sebaik-baiknya sehingga ada’ ( tradisi) dapat berjalan dgn baik dan memberi kontribusi yang positif buat pembangunan daerah..bukan sebalikx…
(tabe…mohon maaf…ini hanya pendapat saya sebagai orsng awam dari pegunungan sana sesuai cerita nenek moyang saya).
Hal ini terlihat jelas, bahwa pada prosesi penobatan putra mahkota Mamuju tersebut banyak yang menilai adanya pergeseran nilai dari sejarah adat kerajaan yang ada di Mamuju. (Is)