Penulis : Muhammad Mitsaq Zamir
Seksi Statistik Produksi BPS Kabupaten Mamasa Provinsi Sulawesi Barat
Opini.-Sudah setahun lebih covid-19 menggemparkan dunia. Hingga tanggal 24 Februari 2021, telah terjadi 112 juta lebih kasus di seluruh dunia, 84 juta diantaranya telah berhasil sembuh, namun 2,5 juta lainnya tidak bernasib baik dan harus menemui ajalnya karena virus tersebut. Virus tersebut ditengarai muncl pertama kali di negara China pada awal Desember 2019. Kala itu Kala itu, sejumlah pasien berdatangan ke rumah sakit di Wuhan dengan gejala penyakit yang tak dikenal. Sedangkan kasus pertama covid-19 tercatat mulai masuk ke Indonesia sejak 3 Maret 2020. Hingga saat ini, telah ada lebih dari 1,29 juta kasus di Indonesia dengan 111 juta telah sembuh namun terdapat 33 ribu kasus kematian.
Pandemi yang menyerang semua negara ini menyebabkan tiap negara mengeluarkan berbagai kebijakan demi menekan laju penyebaran dan bertahan menghadapi gempuran virus yang begitu sporadis. Salah satu kebijakan yang paling terkenal adalah lockdown. Lockdown adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan suatu upaya pengendalian penyebaran infeksi. Masyarakat di wilayah yang diberlakukan lockdown tidak dapat lagi keluar rumah dan berkumpul, sementara semua transportasi dan kegiatan perkantoran, sekolah, maupun ibadah akan dinonaktifkan. Kendati demikian, definisi lockdown sebenarnya masih belum begitu jelas dan belum disepakati secara global. Penerapan lockdown di setiap negara atau wilayah memiliki cara atau protokol yang berbeda. Misalnya, di Wuhan, Tiongkok, lockdown diterapkan secara total. Selama diberlakukan lockdown, seluruh warga di kota tersebut dilarang keluar rumah dan semua area publik, seperti mal dan pasar, ditutup. Sementara di Spanyol dan Italia, kebijakan lockdown di sana masih memperbolehkan warganya pergi keluar rumah untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari dan membeli obat-obatan.
Sejak kemunculannya di Indonesia, pemerintah memilih opsi “Pembatasan sosial” sebagai upaya meminimalisir penyebaran covid-19 dengan membatasi jarak sosial di masyarakat namun aktivitas ekonomi tetap dapat berjalan. Berbagai program pemulihan ekonomi pun sudah dikerjakan oleh pemerintah Indonesia. Tak main main, pemerintah menganggarkan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp 695,2 Triliun. Anggaran ini difokuskan untuk meredam dampak dari guncangan ekonomi yang disebabkan oleh pandemi. Namun hingga 31 desember 2020, realisasi anggaran PEN tahun 2020 baru tercapai Rp 579,78 triliun atau 83,4 persen dari total pagu anggaran. Konon katanya menurut pemerintah, opsi pembatasan sosial ini adalah opsi terbaik untuk Indonesia. Opsi ini digadang-gadang dapat menyelamatkan kesehatan masyarakat sekaligus ekonomi Indonesia dikala pandemi. Namun apakah benar demikian?
Sudah hampir setahun berlalu sejak pemerintah memilih opsi pembatasan sosial. Faktanya di lapangan, hingga tanggal 16 Februari 2021, kasus covid-19 di Indonesia telah menembus angka 1,3 Juta kasus. Angka ini menempatkan Indonesia menjadi negara dengan total kasus terbanyak di Asia tenggara, dan negara dengan kasus terbanyak peringkat ke-4 di bawah India, Turki, dan Iran. Suramnya perjuangan Indonesia menghadapi virus ini juga diikuti oleh suramnya perekonomian Indonesia. Hingga kuartal IV 2020 pun pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berada di zona minus.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada jumat 5 Februari 2021 merilis data pertumbuhan ekonomi kuartal IV 2020 serta keseluruhan tahun 2020. Hasilnya adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia masih minus di angka 2,19 persen. Bahkan jika dihitung secara kumulatif sepanjang tahun 2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia bernilai minus 2,07 persen. Angka ini menjadi catatan terburuk sejak krisis moneter yang dialami Indonesia pada tahun 1998, 22 tahun silam. Saat itu, krisis ekonomi berkepanjangan membawa ekonomi Indonesia pada 1998 mengalami kontraksi hingga minus 13,16 persen. Suramnya pertumbuhan ekonomi juga diikuti oleh loyonya daya beli masyarakat. Data dari BPS melaporkan bahwa tingkat konsumsi rumah tangga nasional berada di level minus 3,61 persen pada kuartal IV 2020. Mempertahankan konsumsi masyarakat menjadi hal penting karena menyangkut kesejahteraan penduduk, selain itu kita tidak bisa hanya berharap pada stimulus konsumsi pemerintah demi bisa survive dari resesi yang tengah kita alami saat ini. Hal ini disebabkan ekonomi Indonesia sebagian besar ditopang oleh konsumsi masyarakat itu sendiri. Sehingga konsumsi masyarakat akan sangat berdampak terhadap naik atau turunnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Realisasi anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2020 yang sudah 83,4 persen diharapkan dapat membantu menggenjot konsumsi masyarakat, terutama untuk realisasi budget untuk bantuan sosial, BLT, dan PKH.
Pertumbuhan ekonomi yang masih terkontraksi pada kuartal IV menjadi indikator bahwa Indonesia masih terkurung dalam zona resesi. Sebelumnya Indonesia resmi memasuki zona resesi setelah realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal ketiganya minus 3,49 persen, setelah pada kuartal sebelumnya ekonominya juga tumbuh negatif sebesar 5.32 persen. Resesi adalah kondisi di mana pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi secara dua kuartal berturut-turut. Pertumbuhan ekonomi yang negatif jika dibiarkan hingga memasuki kuartal 1 2021 maka Indonesia akan rentan masuk dalam teritori depresi ekonomi. Definisi dari depresi ekonomi itu sendiri adalah resesi ekonomi berkelanjutan yang terjadi dalam satu tahun atau lebih. Ini patut diwaspadai karena biaya pemulihan ekonomi relatif lebih mahal jika sudah terjadi depresi.
Sehingga meskipun pada tahun ini perekonomian Indonesia mengalami resesi, yang juga dialami oleh sebagian besar negara lain di dunia, namun strategi kebijakan penangangan Covid-19 dan PEN diharapkan akan mendukung perekonomian Indonesia untuk tetap bertahan saat atau pasca pandemi sehingga kecenderungan perekonomian domestik akan memasuki siklus pemulihan ekonomi yang pada akhirnya perekonomian Indonesia akan kembali berekspansi. (**)