Mamuju, 8enam.com.-Di tengah pesatnya pembangunan di ibu kota Kabupaten Mamuju Provinsi Sulbar dan gencarnya pemerintah untuk menekan angka kemiskinan di negeri ini, namun mirisnya, seorang nenek yang berusia renta tinggal di gubuk berukuran 2×3 bersama tiga orang cucunya dengan menjual atap daun Nipa untuk bertahan hidup.
Dialah Bungaisya, nenek yang berusia 70 tahun tinggal bersama tiga orang cucunya di sebuah gubuk yang tidak jauh dari pusat kota Kabupaten Mamuju, tepatnya di Simbuang Kelurahan Karema Kecamatan Simboro Kabupaten Mamuju.
Bungaisya mengaku, untuk memenuhi kehidupan sehari-hari bersama ketiga cucunya, ia terpaksa harus bekerja membuat atap dari daun nipa, lalu dijual dengan harga Rp 2500 perlembar.
“Kadang biasa laku 10 sampai 20 lembar perhari, terkadang juga tidak ada laku. Hasil dari jual atap itu untuk kebutuhan sehari-hari,” tutur Bungaisya.
Dia katakan, selama ini pemerintah tidak perna memberikan bantuan kepada dirinya. Apalagi mendapat bantuan susu gratis dari pemerintah, sehingga ia terpaksa memberikan air nasi sebagai pengganti susu kepada Nurang cucunya yang masih umur 7 bulan.
“Baru kali ini nak ada yang kasih saya bantuan, saya bersyukur sekali dan berterimah kasih semoga Allah SWT membalas niat baik bapak-bapak semua,” ujarnya lirih.
Sementara Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Ikatan Wartawan Online (IWO) Sulbar, Muhammad Basri (Dg Sangkala) saat menyambangi kediaman Bungaisya, Senin (9/10/2017) mengatakan, apa yang dilakukan merupakan panggilan jiwa sebagai bentuk kepedulian untuk saling berbagi. Dimana nenek Bungasia yang tinggal dalam gubuk ukuran 2X3 meter persegi bersama ketiga orang cucunya dalam keadaan memprihatinkan.
Ironisnya lagi, kata Basri walau tinggal dalam kota Mamuju Provinsi sulbar, namun pemerintah seakan tutup mata melihat kondisi yang dialami Bungasia.
“Saya sangat menyayangkan sikap pemerintah seperti lurah, camat dan istansi terkait, kenapa tidak ada kepeduliannya terhadap masyarakat kecil seperti Bungasia,” ungkap Basri saat menyambangi kediaman Bungaisya. (edo)