Mateng, 8enam.com.-Berlangsung di aula Kantor Bupati Mamuju Tengah DPRD Provinsi menggelar Rapat Kerja Pokja DPRD Provinsi Sulbar bersama Pemerintah Daerah Kabupaten Mamuju Tengah, membahas kelanjutan pembangunan Bendungan Budomg-budong di Desa Salulebo Kecamatam Topoyo yang sempat distop, Kamis (24/3/2022).
Hadir pada kegiatan tersebut, Ketua DPRD Provinsi Sulbar, Hj. Sitti Suraidah Suhardi, Ketua DPRD Mateng, H. Arsal Aras, Asisten Bidang Pemerintahan Setda Mateng, H. Bahri Hamsah, Kapolres Mateng, Pabung TNI Kodim 1418 Mamuju, Kejaksaan Negeri Mamuju, anggota DPRD Sulbar, anggota DPRD Mateng, Balai BWS III Sulawesi, BPN Mateng, Camat Topoyo, Kepala Desa Salulebo, masyarakat Desa Salulebo.
Pada kesempatan itu, Bahri Hamsah menyampaikan, pemerintah daerah Kabupaten Mamuju Tengah sudah beberapa kali melakukan pertemuan dengan masyarakat Desa Salulebo.
“Dan hasil terakhir waktu saya diperintahkan oleh Bupati Mamuju Tengah untuk melakukan pertemuan dengan masyarakat Desa Salulebo, bagaimana menuntaskan hak-hak masyarakat dan yang paling penting adalah bagaimana masyarakat dan pemerintah punya niat untuk membangun daerah dengan tidak ada saling dirugikan, baik pemerintah maupun masyarakat,” kata Bahri.
Dia katakan, pemerintah membangun untuk masyarakat, tapi pemerintah juga tidak mau melakukan pembangunan kalau merugikan masyarakat. Intinya pemerintah tidak mau ada masyarakat yang dirugikan dalam hal kegiatan pembangunan yang dilaksanakan.
Sementara Ketua DPRD Sulbar, Hj. Sitti Suraidah Suhardi menuturkan, berdasarkan informasi dari LSM yang masuk ke lembaga DPRD Sulbar, yang meminta DPRD Sulbar untuk turun meninjau pembamgunan bendungan Sungai Budong-Budong, sehingga melalui Bamus DPRD Sulbar mengagendakan rapat terkait permasalahan bendungan tersebut.
“Sehingga kita memandang perlu untuk turun langsung ke Kabupaten Mamuju Tengah, berdiskusi dengan pemerintah Kabupaten Mamuju Tengah dan seluruh stake holder terkait agar semua permasalahan yang ada bisa diselesaikan dengan baik,” ujar Suraidah.
“Seperti yang disampaikan oleh pak asisten tadi, tentu kita berharap untuk kemaslahatan orang banyak, yang tentu tidak merugikan masyarakat dan harus sesuai dengan relnya,” sambungnya.
Suraidah juga berharap kepada Balai BWS III Sulawesi selaku pelaksana proyek Bendungan Sungai Budong-budong ini agar bekerja sesuai dengan aturan, jangan sampai membuat program yang gagal. Salah satu contoh bendungan yang ada di Tommo sampai saat ini belum berfungsi begitu juga bendungan yang di Kalukku, bendungan selesai dibangun yang terjadi malah banjir.
“Olehnya itu saya berharap kepada Balai BWS III Sulawesi agar betul-betul dalam pengerjaanya itu sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat,” harapnya.
Sedangkan Ketua DPRD Mateng, H. Arsal Aras menjelaskan, Desa Salulebo adalah pecahan dari Desa Tabolang, awalnya Salulebo ini adalah izin Rantai Mario sebagai garapan pengambilan kayu dan status tanahnya Hutan Produksi Terbatas (HPT), setelah izin Rantai Mario selesai, oleh kepala desa pada saat itu H. Aras Tammauni memberi izin masyarakat masuk tinggal diwilayah HPT dengan catatan tidak memperjual belikan karena memang tidak boleh.
“Lalu kemudian pemerintah daerah melakukan pengusulan pelepasan kawasan, sehingga Desa Salulebo itu tidak secara menyeluruh sekarang itu masuk HPT, tetapi sudah ada beberapa dusun yang sudah lepas dari HPT, masyarakatnya sudah memiliki hak sertipikat tanah. Untuk diarea bendungan, pemerintah sudah pernah mengusulkan tapi sampai hari ini pelepasanya belum lahir, itu kondisi yang ada disana,” beber Arsal.
Bicara soal bendungan kata Arsal, pihaknya mendapat informasi perencanaan awal itu ditahun 2010, lalu tahun 2013 baru mulai menggagas yang akhirnya setelah dilakukan pengukuran oleh konsultan lahirlah desain bendungan Budong-budong. Lalu secara mengejutkan pula oleh Perpres, Bendungan Budong-budong ini dimasukan dalam proyek strategis nasional tahun 2020.
Proses berjalan hingga sampai tahun 2021, tidak ada aktivitas apa-apa, karena proses awal itu tidak ada sehingga yang dilakukan oleh Balai, Pemda dan pemerintah desa melakukan sosialisasi terkait program pemerintah tersebut.
“Kita berpikir pada waktu itu, kalau program ini tidak berjalan, maka bisa jadi program ini dihentikan atau dananya diambil kembali oleh pemerintah untuk penanggulangan covid-19. Sehingga saya bersama Bupati turun kelapangan mensosialisasikan membuka jalan yang tadi lebarnya 4 meter menjadi 11 meter,”kata Arsal.
Arsal menuturkan, membuka jalan ini mengambil area masyarakat yang punya hak milik sertipikat, sehingga kita kasi pemahaman kalau belum dinilai dan belum diukur, pemerintah pusat tidak bisa menganggarkan berapa yang harus dibayarkan kepada masyarakat. Maka dikerjalah pelabaran jalan sampai dititik bendungan dengan total panjang kurang lebih 24 kilo meter, masyarakat yang dikena pelebaran ikhlas, urusan pembayaran urusan belakang, dengan catatan ketika dibuka pemerintah, Babinsa, Binmas hadir mencatatat berapa area yang diambil, tanaman apa saja yang ada diatasnya dengan maksud untuk diganti rugi.
Selanjutnya, poin yang disepakati adalah sebelum bendungan dikerja, akses jalan harus sudah dikerja oleh pihak Balai, kemudian poin krusial yang disepakati pada waktu itu adalah proses ganti rugi. Proses ganti rugi itu sudah disampaikan bahwa semua tegakan yang ada diatas tanah tersebut akan dibayarkan, artinya semua yang tumbuh dan punya nilai akan diganti oleh pemerintah.
“Seiring waktu, saya kaget mendapat informasi bahwa semua pekerjaan balai distop, sebab kami tidak pernah mendapat laporan apa problemnya. Kalau ini dihentikan maka kami yang di Mamuju Tengah yang rugi, karena kami tidak mampu membangun bendungan, kami tidak mampu membangun jalan sepanjang 24 kilo meter yang dibeton, karena kami tidak memiliki cukup anggaran,” jelasnya.
Kalau bendungan ini jadi lanjut Arsal, akan bisa mengatasi banjir yang sering terjadi di Mamuju Tengah, saat ini Balai merancang bagaimana jika bendungan ini selesai sawah yang ada di Mamuju Tengah akan dialiri air dari bendungan itu, begitu juga dengan air bersih.
“Jadi bagi kami di Mamuju Tengah tidak ada alasan bendungan ini tidak jalan. Kalau ada masalah ayo kita duduk bersama untuk mendiskusikan apa masalahnya, kita cari solusinya,” ungkapnya.
Menemui Titik Terang Meski Alot
Keputusan apakah pekerjaan pembangunan bendungan Budong-budong itu dilanjutkan atau tidak akhirnya menemui titik terang, meski berjalan sangat alot dan sempat tegang karena masyarakat tetap pada pendirianya yakni kalau mau lanjut harus diselesaikan dulu proses ganti rugi.
“Jika dilihat yang terjadi hanya miskomunikasi saja, yang pada akhirnya poin-poin yang disepakati itu jalan tetap bisa dikerja, pengambilam sampel, tahapan-tahapanya bisa berjalan,” kata Arsal usai rapat.
Kenapa kemarin masyarakat itu menghentikan pekerjaan kata Arsal, itu karena ada miskomunikasi. Nah hari ini jelas semua, kita minta tahapanya bisa kembali berjalan. Khusus untuk pengukuran dititik bendungan, itu ada tahapanya seperti dijelaskan tadi. Kemudian yang dikeluhkan oleh masyarakat tadi semuanya sudah terjawab.
“Kita berharap bendungan ini tetap berjalan sesuai dengan skejul karena ini adalah kepentingan Mamuju Tengah, Provinsi Sulbar dan kepentingan penyangga IKN Nusantara di Pulau Kalimantan,” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Suraidah, bahwa semua sepakat untuk tetao melanjutkan pembangunan bendungan Sungai Budong-budong sesuai dengan tahapnya.
“Yang pasti kita semua sepakat untuk tetap melanjutkan pembangunan bendungan. Dan terkait permintaan masyarakat soal penyelesaian haknya, itu juga menjadi perhatian. Dan kita akan selesaikan selama tidak melanggar aturan, sebab ini adalah proyek nasional yang tentu akan memberikan dampak positif bagi masyarakat,” tutupnya. (amr)
Rubrik Ini Dipersembahkan Oleh Kominfo Mamuju Tengah